Penyelenggaraan
Pemilihan Presiden ( Pilpres) Republik Indonesia ( RI) masa bakti 2019-2024 akan diselengarakan pada tanggal 17 April 2019
mendatang, serentak dengan Pemilihan Anggota Legeslatif masa bakti 2019 - 2024.
Pemilihan umum kali ini merupakan pesta demokrasi terbesar dalam sejarah
demokrasi Bangsa Indonesia, dimana pemilihan presiden/wapres (dilaksanakan
bersamaan dengan pemilihan anggota legeslatif ( DPR,DPRD, DPD).
Meski, Pilpres masih setahun lagi. Tapi
kemeriahan sudah nampak dimana-dimana. Atmospher kekinian tentang figur calon presiden 2019 mulai hangat
diperbincangkan. Panorama demokrasi dalam bentuk kebebasan ekspresi
menghiasi panggung diskusi hampir
diseluruh penjuru negeri.
Nama - nama figur
capres bermunculan menjadi tema diskusi hangat baik di televisi, media
sosial bahkan warung kopi sekalipun. Ada nama presiden hingga jendral, ada nama
ustad hingga konglomerat. Ada Joko Widodo, Prabowo Subianto, Gatot Nurmantyo, Agus
Harimurti, Harry tanoe, Muhaimin Iskandar, Tuan Guru
Bajang M Zainul Majdi, hingga Anis Baswedan dan Susi Puji Astuti.
Lembaga survei
tiba-tiba ramai berseliwiran, merilis konstetasi figur Capres 2019. Ada lembaga survei yang sudah
lama namun tidak sedikit yang baru punya
nama. Ada yang biaya sendiri dan yang dibiayai bersama(?). Ada yang sengaja
menggiring persepsi dan ada yang menawar jadi referensi konsultan komunikasi.
Namun, yang suasana yang
paling panas terkait Pilpres 2019 adalah apa yang terjadi di media sosial. Facebook, instagram dan twitter
akan menjadi medan perang dunia maya. Perang para pendukung di medsos tahun 2014 sepertinya bakal terulang
kembali antara pendukung Jokowi dan Prabowo. Pendukung masing
masing capres mulai terkonfigurasi menjadi dua kubu yang berbeda.
Jangan lupa pengguna
medsos tahun ini lebih besar yakni 130 juta pengguna di banding
tahun 2014 yang hanya 70 juta saja . Berarti ada tambahan 50 ribu warga net. Otomatis,
pertarungan opini dan pengaruh pada Pilpres 2019 akan lebih massif dan tak
terbendung
Keriuhan fanpage masing masing capres, sebagai markas idetifikasi
relawan mulai padat berisi komentar-komentar dukungan. Pergerakannya mulai agresif.
Hampir semua ruang media sosial identitas dan simbol simbol sang capres
dipenuhi komunitas barisan pejuang.
Para warganet yang
menjadi relawan barisan sang capres siap
berperang dan menyerang.Jika ada postingan yang positif tentang figur capres, ramai ramai mereka
sharing kemana-mana dengan komentar puja puji. Sebaliknya, jika ada postingan
figur lain, ramai-ramai mereka serang dengan kalimat yang menjatuhkan.
Meskipun, media sosial
bukan patokan ukuran jumlah pendukung
masing-masing capres. Tapi media sosial tetap menjadi media yang strategis,
dianggap lebih memberikan pengaruh dan makna bagi capres untuk membangun komunikasi politiknya
dan menarik simpati para netizen untuk
Pilpres 2019.
Dahulu para politisi
membangun rumah komunikasi politiknya melalui media-media mainstream. Sejak
lima tahun yang lalu, pendekatan itu berubah
mereka lebih suka membuat akun atau membangun rumah atau markas besar
dunia mayanya di media sosial. Karena media sosial menawarkan proses kirim aktivitas, tulisan dan gambar serta video yang lebih cepat dan mudah serta jangkauan yang luas.
Dari sebuah penelitian
terbaru yang dilakukan oleh We are social dan Hootsuite, warganet indonesia
sangat gemar mengunjungi media sosial, paling rajin update status. Atau istilah
digitalnya Hyper social, orang indonesia
itu setiap melihat, merasa dan mengalami apapun selalu update status di media sosial. Bayangkan saja
jika ada 100 Juta orang barisan pendukung Capres Seperti ini di media sosial.
Komunikasi
Politik
Menurut Maswadi
Rauf komunikasi politik merupakan bagian objek dari
kajian ilmu politik, karena pesan-pesan yang diungkapkan dalam proses
komunikasi bercirikan politik yakni berkaitan dengan kekuasaan politik negara, pemerintahan
dan juga aktivitas komunikator dalam kedudukan sebagai pelaku kegiatan politik.
Mueller (1973)
: Komunikasi Politik didefinisikan sebagai hasil yang bersifat politik apabila
menekankan pada hasil. Sedangkan definisi Komunikasi Politik jika menekankan
pada fungsi komunikasi politik dalam sistem politik, adalah komunikasi yang
terjadi dalam suatu sistem politik dan antara sistem tersebut dengan
lingkungannya. (Baca juga: Komunikasi Pemerintahan)
Dan, Almond dan
Powell menyatakan Komunikasi Politik
sebagai fungsi politik bersama-sama
fungsi artikulasi, agregasi, sosialisasi dan rekruitmen yang terdapat di
dalam suatu sistem politik dan komunikasi politik merupakan prasyarat
(prerequisite) bagi berfungsinya fungsi-fungsi politik yang lain.
Kesimpulannya
adalah Komunikasi Politik adalah Proses penyampaian pesan-pesan yang
bertujuan membangun agregrasi, sosialisasi,
interaksi, rekruitmen dan artikulasi politik
untuk mendapat dukungan memperkuat
dan terlibat dalam kegiatan politik dan Pemerintahan ( Penyampai pesan).
Karena
komunikasi itu sebuah proses penyampaian pesan agar yang menerima pesan
bergabung, mendukung, memahami dan mengikut pada kegiatan politik si penyampai pesan. Maka proses dan pesan (
konten) itu perlu di desain atau dirancang sebagai kerangka strategi untuk mencapai maksud tujuan politis itu.
Dan Perkembangannya
di era teknologi ini , komunikasi politik para elite politik lebih banyak dikelola
oleh konsultan komunikasi. Termasuk mendesain dan merancang brand image politik institusi pemerintahan maupun
tokoh politik pemilu,pilpres dan pilkada.
Sekarang pertanyaannya adalah saluran media teknologi mana yang mau
digunakan capres untuk memperkuat komunikasi politiknya. Ada media Televisi,
Media Sosial (internet) ada media cetak, atau ada tatap muka langsung.
Dalam era
digital sekarang ini, ada tiga hal yang dilakukan untuk merebut hati
pemilih yakni story telling, social listening dan big data.
Kemampuan menguasai ketiga hal
tersebut, akan memperkuat keberhasilan komunikasi politik.
Story
telling adalah
kemampuan bercerita dan menvisualisasi seorang figur/produk atau jasa dengan
narasi yang menyentuh ke hati pendengar dan pembaca. Sociallistening adalah teknik untuk mendengar perbincangan netizen/warga
masyarakat dengan mencari keyword atau pentunjuk yang paling dekat untuk
mengetahui kesukaan prilaku dan kepribadian mereka. Big Data, adalah data yang jelas dan lengkap dari target audiens
yang kita sasar ( sesuai kepribadian, prilaku ,psikologi, hoby,dan liannya).
Strategi inilah
yang dipakai Cambridge Analitic. dalam memenangkan Calon Presiden Amerika
serikat Donald Trump. Terlepas kontroversi proses kepemilikan data yang ilegal
yang mereka peroleh dari Facebook.
Harus diakui, sebagai
konsultan komunikasi politik mereka berhasil memadukan pengelolaan data, mengenali seksama kepribadian
si pemilih melalui socialistening, kemudian mendesain conten iklan yang tepat secara individual untuk mempengaruhi
pemilih Hillary Clinton agar memilih Donald Trump, nampak kerangka berfikir dan
kerja yang sistematik sebagai proses komunikasi psikologi yang luar biasa yang
dilakukan tim tersebut. Yang akhirnya secara efektif
mempengaruhi prilaku pemilih
untuk bergabung, ikutserta dan mendukung Donald Trump.
Untuk menyiapkan
iklan kampanye yang tepat sasaran , tepat konten dan respon kepada sesorang (
target pemilih). Tantangannya adalah mampukah Konsultan komunikasi Capres mengumpulkan dan memiliki data pemilih
sebanyak dan selengkap mungkin (validasi). Kemampuan mengumpul dan mengelola data harus menjadi
pertimbangan Tim Capres dalam memilih
konsultan komunikasi.
Setelah
memiliki data pemilih, para ahli mempelajari data pemilih salah satunya dengan membuka data-data pribadi mereka, terutama
media sosial dan email.
Kemudian
menganlisas gambar dan tulisan seperti apa yang sering mereka "Like". Ketika mereka memilih foto
matahari terbenam, anak kucing, atau manusia, hal-hal tersebut bisa memberi
informasi banyak mengenai kepribadian mereka. Aktivitas mereka di Facebook
memberi informasi yang begitu kaya, hanya berdasarkan 300 “likes”, kepribadian
anda sudah bisa terbaca.
Objek-objek seperti apa yang mereka sukai harus
dikumpulkan dan dianalisa. Buku apa
yang sering mereka baca. kemana mereka sering berlibur. Apa makanan kesukaanya .
Apa yang sering ditulisinya di media sosial. Inilah proses Social listening.
Sehingga di peroleh data yang lengkap dari setiap pemilih ( big data). Kemudian
mereka merancang profil individunya untuk
menentukan jenis dan bentuk iklan dalam berbagi macam bentuk dan jenis
disesuiakan dengan target pribadi pemilih yang disasar ( bisa Story Telling).
Setiap individu, diberikan iklan yang berbeda - beda satu sama lain. Ada iklan tentang ekonomi,
politik,kesehatan, IT, hiburan disesuaikan dengan kesukaan pribadi si audiens.
Proses ini
terus dilakuan, setiap hari mereka dikirimkan gambar, buku, tulisan sesuai
minat hingga sampai waktunya prilaku dan
pilihan mereka sesuai tujuannya yang kita inginkan.
Saya menyakini
pemanfaatan media sosial yang tepat, mempersiapkan iklan yang tepat dan mengelola
data pemilih, menganalisasinya serta memanfaatkannya dengan tepat, seperti yang
dilakukan oleh Cambridge Analitic komunikasi akan menjadi trend yang dilakukan
oleh masing masing tim sukses Pilpres 2019, untuk agregrasi, dan rekruitmen
pemilih
dalam memenangkan capres jagoannya pada Pilpres
2019.
Namun, jangan-jangan, dibalik kontroversi kehilangan
data facebook, Cambridge Analitic mendapat keuntungan dari skenario
tereksposenya porto folio mereka dan kemampuan
konsultan mereka dalam memenangkan Donald
Trumps sebagai Presiden Amerika,
sekaligus promosi gratis kepada elite politik dunia, terutama para capres di
Indonesia yang kebetulan akan
menyelenggarakan Pilpres tahun 2019, agar menggunakan jasa mereka.#
Referensi :
Resume Buku Komunikasi Politik Indonesia Oleh Maswadi Rauf dan Mappa Nasrun
Bustomy Manggus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar