Sabtu, 21 April 2018

FENOMENA KOMUNIKASI POLITIK PILPRES 2019


Penyelenggaraan Pemilihan Presiden ( Pilpres) Republik Indonesia ( RI) masa bakti 2019-2024   akan diselengarakan pada tanggal 17 April 2019 mendatang, serentak dengan Pemilihan Anggota Legeslatif masa bakti 2019 - 2024. Pemilihan umum kali ini merupakan pesta demokrasi terbesar dalam sejarah demokrasi Bangsa Indonesia, dimana pemilihan presiden/wapres (dilaksanakan bersamaan dengan pemilihan anggota legeslatif ( DPR,DPRD, DPD).

            Meski, Pilpres masih setahun lagi. Tapi kemeriahan sudah nampak dimana-dimana. Atmospher kekinian   tentang figur  calon presiden 2019 mulai hangat diperbincangkan. Panorama demokrasi dalam bentuk kebebasan ekspresi menghiasi  panggung diskusi hampir diseluruh penjuru negeri.


Nama - nama figur  capres bermunculan menjadi tema diskusi hangat baik di televisi, media sosial bahkan warung kopi sekalipun. Ada nama presiden hingga jendral, ada nama ustad hingga konglomerat. Ada Joko Widodo, Prabowo Subianto, Gatot Nurmantyo, Agus Harimurti, Harry tanoe, Muhaimin Iskandar,  Tuan Guru Bajang M Zainul Majdi, hingga Anis Baswedan dan Susi Puji Astuti.

Lembaga survei tiba-tiba ramai berseliwiran, merilis konstetasi  figur Capres 2019. Ada lembaga survei yang sudah lama namun tidak sedikit yang  baru punya nama. Ada yang biaya sendiri dan yang dibiayai bersama(?).   Ada   yang sengaja menggiring persepsi dan ada yang menawar jadi referensi konsultan komunikasi.
           
Namun, yang suasana yang paling panas terkait Pilpres 2019 adalah  apa yang terjadi di    media sosial. Facebook, instagram dan twitter akan menjadi medan perang dunia maya. Perang  para pendukung  di medsos tahun 2014 sepertinya bakal terulang kembali antara    pendukung Jokowi dan Prabowo. Pendukung masing masing capres mulai   terkonfigurasi menjadi dua kubu yang berbeda.

Jangan lupa pengguna medsos tahun ini   lebih besar yakni 130 juta pengguna di banding tahun 2014 yang hanya 70 juta saja . Berarti ada tambahan 50 ribu warga net. Otomatis, pertarungan opini dan pengaruh pada Pilpres 2019 akan lebih massif dan tak terbendung

Keriuhan  fanpage masing masing capres, sebagai markas idetifikasi relawan mulai padat berisi komentar-komentar dukungan. Pergerakannya mulai agresif. Hampir semua ruang media sosial identitas dan simbol simbol sang capres dipenuhi komunitas barisan pejuang.

Para warganet yang menjadi  relawan barisan sang capres   siap berperang dan menyerang.Jika ada postingan yang positif  tentang figur capres, ramai ramai mereka sharing kemana-mana dengan komentar puja puji. Sebaliknya, jika ada postingan figur lain, ramai-ramai mereka serang dengan kalimat yang menjatuhkan.

Meskipun, media sosial bukan  patokan ukuran jumlah pendukung masing-masing capres. Tapi media sosial tetap menjadi media yang strategis, dianggap lebih memberikan pengaruh dan makna  bagi capres untuk membangun komunikasi politiknya dan menarik simpati para  netizen untuk Pilpres 2019.

Dahulu para politisi membangun rumah komunikasi politiknya melalui media-media mainstream. Sejak lima tahun yang lalu, pendekatan itu berubah  mereka lebih suka membuat akun atau membangun rumah atau markas besar dunia mayanya di media sosial. Karena media sosial menawarkan proses kirim  aktivitas, tulisan dan gambar serta  video yang lebih cepat dan mudah  serta jangkauan yang luas.

Dari sebuah penelitian terbaru yang dilakukan oleh We are social dan Hootsuite, warganet indonesia sangat gemar mengunjungi media sosial, paling rajin update status. Atau istilah digitalnya  Hyper social, orang indonesia itu setiap melihat, merasa dan mengalami apapun selalu   update status di media sosial. Bayangkan saja jika ada 100 Juta orang barisan pendukung Capres Seperti ini di media sosial.

Komunikasi Politik
Menurut Maswadi Rauf   komunikasi politik merupakan bagian objek dari kajian ilmu politik, karena pesan-pesan yang diungkapkan dalam proses komunikasi bercirikan politik yakni berkaitan dengan kekuasaan politik negara, pemerintahan dan juga aktivitas komunikator dalam kedudukan sebagai pelaku kegiatan politik.

Mueller (1973) : Komunikasi Politik didefinisikan sebagai hasil yang bersifat politik apabila menekankan pada hasil. Sedangkan definisi Komunikasi Politik jika menekankan pada fungsi komunikasi politik dalam sistem politik, adalah komunikasi yang terjadi dalam suatu sistem politik dan antara sistem tersebut dengan lingkungannya. (Baca juga: Komunikasi Pemerintahan)

Dan, Almond dan Powell menyatakan  Komunikasi Politik sebagai fungsi politik bersama-sama  fungsi artikulasi, agregasi, sosialisasi dan rekruitmen yang terdapat di dalam suatu sistem politik dan komunikasi politik merupakan prasyarat (prerequisite) bagi berfungsinya fungsi-fungsi politik yang lain.

Kesimpulannya adalah Komunikasi Politik adalah Proses penyampaian pesan-pesan yang bertujuan    membangun agregrasi, sosialisasi, interaksi, rekruitmen dan artikulasi politik  untuk mendapat dukungan  memperkuat dan terlibat dalam kegiatan   politik dan Pemerintahan ( Penyampai pesan).

Karena komunikasi itu sebuah proses penyampaian pesan agar yang menerima pesan bergabung, mendukung, memahami dan mengikut pada kegiatan politik  si penyampai pesan. Maka proses dan pesan ( konten) itu perlu di desain atau dirancang sebagai kerangka  strategi untuk mencapai maksud tujuan  politis itu.

Dan Perkembangannya di era teknologi ini , komunikasi politik para elite politik lebih banyak dikelola oleh konsultan komunikasi. Termasuk mendesain dan merancang  brand image politik institusi pemerintahan maupun tokoh politik pemilu,pilpres dan pilkada.   

Sekarang pertanyaannya  adalah saluran media teknologi mana yang mau digunakan capres untuk memperkuat komunikasi politiknya. Ada media Televisi, Media Sosial (internet) ada media cetak, atau ada tatap muka langsung.

Dalam era digital sekarang ini, ada tiga hal yang dilakukan untuk merebut hati pemilih   yakni story  telling, social listening   dan big data.  Kemampuan  menguasai ketiga hal tersebut, akan memperkuat keberhasilan komunikasi politik.

Story telling adalah kemampuan bercerita dan menvisualisasi seorang figur/produk atau jasa dengan narasi yang menyentuh ke hati pendengar dan pembaca. Sociallistening adalah teknik untuk mendengar perbincangan netizen/warga masyarakat dengan mencari keyword atau pentunjuk yang paling dekat untuk mengetahui kesukaan prilaku dan kepribadian mereka. Big Data, adalah data yang jelas dan lengkap dari   target   audiens yang kita sasar ( sesuai kepribadian, prilaku ,psikologi, hoby,dan liannya).


Strategi inilah yang dipakai Cambridge Analitic. dalam memenangkan Calon Presiden Amerika serikat Donald Trump. Terlepas kontroversi proses kepemilikan data yang ilegal yang mereka peroleh dari Facebook.

Harus diakui, sebagai konsultan komunikasi politik   mereka berhasil   memadukan pengelolaan data, mengenali seksama kepribadian si pemilih melalui socialistening, kemudian    mendesain conten iklan  yang tepat secara individual   untuk mempengaruhi pemilih Hillary Clinton agar memilih Donald Trump, nampak kerangka berfikir dan kerja yang sistematik sebagai proses komunikasi psikologi yang luar biasa yang dilakukan tim tersebut. Yang akhirnya   secara  efektif   mempengaruhi prilaku pemilih untuk bergabung, ikutserta dan mendukung Donald Trump.

Untuk menyiapkan iklan kampanye yang tepat sasaran , tepat konten dan respon kepada sesorang ( target pemilih). Tantangannya adalah mampukah Konsultan komunikasi Capres    mengumpulkan dan memiliki data   pemilih sebanyak dan selengkap mungkin (validasi). Kemampuan  mengumpul dan mengelola data harus menjadi pertimbangan Tim  Capres dalam memilih konsultan komunikasi.

Setelah memiliki data pemilih, para ahli mempelajari data pemilih  salah satunya dengan  membuka data-data pribadi mereka, terutama media  sosial dan email.

Kemudian menganlisas gambar dan tulisan seperti apa yang sering mereka "Like". Ketika mereka memilih foto matahari terbenam, anak kucing, atau manusia, hal-hal tersebut bisa memberi informasi banyak mengenai kepribadian mereka. Aktivitas mereka di Facebook memberi informasi yang begitu kaya, hanya berdasarkan 300 “likes”, kepribadian anda sudah bisa terbaca.

Objek-objek  seperti apa yang mereka sukai harus dikumpulkan dan dianalisa. Buku apa yang sering mereka baca. kemana mereka sering berlibur. Apa makanan kesukaanya . Apa yang sering ditulisinya di media sosial. Inilah proses Social listening. Sehingga di peroleh data yang lengkap dari setiap pemilih ( big data). Kemudian mereka merancang profil individunya  untuk  menentukan jenis dan bentuk iklan dalam berbagi macam bentuk dan jenis disesuiakan dengan target pribadi pemilih yang disasar ( bisa Story Telling).

Setiap individu,  diberikan iklan yang berbeda - beda  satu sama lain. Ada iklan tentang ekonomi, politik,kesehatan, IT, hiburan disesuaikan dengan kesukaan pribadi si audiens.
Proses ini terus dilakuan, setiap hari mereka dikirimkan gambar, buku, tulisan sesuai minat hingga sampai waktunya  prilaku dan pilihan mereka sesuai tujuannya yang kita inginkan.

Saya menyakini pemanfaatan media sosial yang tepat, mempersiapkan iklan yang tepat dan mengelola data pemilih, menganalisasinya serta   memanfaatkannya dengan tepat, seperti yang dilakukan oleh Cambridge Analitic komunikasi akan menjadi trend yang dilakukan oleh masing masing tim sukses Pilpres 2019, untuk agregrasi,   dan rekruitmen   pemilih dalam memenangkan capres jagoannya pada Pilpres  2019.

Namun,  jangan-jangan, dibalik kontroversi kehilangan data facebook, Cambridge Analitic mendapat keuntungan dari skenario tereksposenya   porto folio mereka dan kemampuan konsultan mereka dalam  memenangkan Donald Trumps  sebagai Presiden Amerika, sekaligus promosi gratis kepada elite politik dunia, terutama para capres di Indonesia yang kebetulan   akan menyelenggarakan Pilpres tahun 2019, agar menggunakan jasa mereka.#

Referensi : Resume Buku Komunikasi Politik Indonesia Oleh Maswadi Rauf dan Mappa Nasrun

Bustomy Manggus



Tidak ada komentar:

Posting Komentar